Ancaman kepulauan Zamrud Khatulistiwa ini ditenggelamkan oleh oleh air laut sudah mulai terlihat saat ini. Menurut Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Syamsul Maarif, rata-rata setiap tahun kepulauan di Indonesia kehilangan 5 cm daratannya didesak air laut. Namun, dia tidak yakin fenomena raibnya pulau-pulau kecil Indonesia karena kenaikan air laut akibat pemanasan global.
"Dulu diidentifikasi kita memiliki 17. 504 pulau. Kemarin hasil perhitungan kembali kok menjadi 17. 480, berarti ada 24 pulau yang hilang. Saya tidak berani memastikan hilangnya 24 pulau itu karena salah pendataan atau karena dampak pemanasan global," katanya.
Berbeda dari Syamsul Maarif, Emil Salim, sangat yakin hilangnya pulau-pulau kecil di Indonesia karena tenggelam sebagai dampak pemanasan global. Bahkan, menurut begawan pelestarian lingkungan ini, Pulau Vanuatu, Kirlyfatsu, dan Kepulauan Marshal di Samudera Pasifik kini sudah tenggelam akibat kenaikan air laut itu. "Kalau ini berlanjut, maka pulau di Indonesia yang hilang pada tahun 2030 nanti bisa mencapai 2.000 pulau dari 12.000 pulau yang ada sekarang," kata mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup zaman Orde Baru ini.
"Kita kan mengandalkan produksi padi. Padahal, irigasi air berubah karena musim juga berubah, sehingga keteraturan menanam padi juga ikut berubah. Curah hujan berkurang, air menjadi langka. Produksi pangan dan kelangkaan air karena kemarau. Lahir penyakit-penyakit baru. Dan yang terpukul adalah rakyat miskin di negara berkembang," ujarnya.
Sejalan dengan pemikiran Emil Salim, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Nur Hidayati, menyatakan musim kering yang panjang dan jumlah curah hujan yang besar dalam waktu singkat akan semakin sering dirasakan masyarakat akibat pemanasan global. Dia memprediksi jika akumulasi gas Co2 di atmosfer terus bertambah akibat intensitas pembuangan gas berbahaya sisa industri tidak dikurangi, maka sepuluh tahun kedepan suhu bumi akan meninggkat rata-rata 2° Celsius.
Kemarau panjang dan iklim yang tidak menentu membuat petani semakin menderita. Kehidupan mereka kian merosot. Kini tanah dan air menjadi sering tidak bersahabat. Padahal mereka mengandalkan hidup pada tanah dan air. Di ujung lain, nelayan yang mengandalkan hidup dari kemurahan laut pun kini dibenturkan pada kenyataan pahit: sering tidak kuasa menduga ombak lautan. Para nelayan tradisional seperti di Kampung Uewajo, Morowali, Sulawesi Tengah, sering tidak bisa melaut karena ombak besar kerap datang tanpa diduga.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah Dr Ir Hasanuddin Atjo MP mengatakan perlu penelitian dan analisis untuk mengetahui secara pasti pengaruh pemanasan global terhadap nelayan. Pengaruh pemanasan global jelas ada, namun saat ini belum terlalu terlihat dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan nelayan.
Menurut Panel Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), pemanasan global saat ini "sepenuhnya tidak berasal dari sebab-sebab alam". Mereka menegaskan, manusia bertanggung jawab atas kerusakan siklus iklim ini.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, pemerintah sudah berusaha mengurangi pencemaran udara dengan menjalankan rencana nasional pengurangan pembuangan emisi berbahaya ke udara. Namun hasil pelaksanaan rencana nasional itu baru bisa dirasakan sepuluh tahun mendatang.
Rachmat Witoelar juga membantah tudingan pihaknya tidak tegas mengatasi masalah pencemaran lingkungan. "Di bagian mananya? Kami telah menindak banyak pabrik yang melanggar (dan membawa) ke pengadilan. Lantas apa lagi? Cuma itu yang bisa dilakukan. Saya menolak kalau KLH dikatakan tidak tegas dalam mengatasi pencemaran lingkungan."
Tentu kita tidak ingin legenda Atlantis menjadi kisah nyata bagi Indonesia. Dibutuhkan kesadaran bersama untuk mencegah ancaman itu. Pemerintah pun harus bertindak tegas. "Yang terpenting ketegasan pemerintah. Kalau pemerintah tidak berani, tamat riwayat Indonesia," kata Emil Salim.
Sumber : VHRmedia/VM